Hak, Identitas, dan Partisipasi Muslimah dalam Demokrasi

perempuan dalam demokrasi

Demokrasi modern tidak bisa dilepaskan dari isu kesetaraan dan keterlibatan seluruh warga negara, termasuk perempuan. Dalam sejarah panjang politik global, posisi perempuan sering kali kurang diperhitungkan, baik karena konstruksi budaya, tafsir agama yang sempit, maupun sistem sosial yang maskulin.

Namun, dalam konteks Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, kehadiran perempuan, -apalagi Muslimah- dalam ruang demokrasi merupakan hal yang semakin penting untuk diperbincangkan. Lalu bagaimana Muslimah dapat berpartisipasi aktif dalam demokrasi tanpa kehilangan identitas keislamannya?

Demokrasi dan Hak Perempuan

Sejak awal kemerdekaan, perempuan Indonesia telah berperan aktif dalam politik. Tokoh seperti Maria Ulfah Santoso, S.K. Trimurti, Rahmah El Yunusiyyah, serta kader Aisyiyah Siti Munjiyah dan Siti Hayinah menjadi bukti keterlibatan Muslimah di ranah publik. Siti Munjiyah dan Siti Haniyah turut menyuarakan persamaan hak perempuan dan pendidikan modern bagi wanita, antara lain dalam Kongres Wanita Indonesia Pertama tahun 1928.[1]

Begitu pula dalam sejarah Islam, kita mengenal tokoh seperti Aisyah r.a. yang terlibat dalam diskursus keilmuan dan sosial-politik pada zamannya. Fakta ini menegaskan bahwa partisipasi Muslimah dalam demokrasi bukanlah sesuatu yang asing atau “impor” dari budaya Barat, melainkan bagian dari tradisi panjang keterlibatan perempuan dalam ruang sosial.

Tantangan Identitas Muslimah

Meski demikian, realitas di lapangan menunjukkan bahwa Muslimah masih kerap dibatasi oleh tafsir sempit mengenai peran domestik (mengurus rumah tangga dan suami). Demokrasi sejatinya menuntut kesetaraan, sehingga pandangan yang menyingkirkan suara dan kiprah Muslimah di ruang publik jelas tidak sejalan dengan semangat demokrasi. Justru dengan bekerja dan berbicara di ranah publik, Muslimah menunjukkan kemandirian, memperkuat demokrasi, dan memberi kontribusi nyata bagi masyarakat.

Di sinilah pentingnya menempatkan demokrasi dalam bingkai yang inklusif. Demokrasi seharusnya tidak memaksa Muslimah meninggalkan identitas keagamaannya, tetapi justru menjamin kebebasan mereka untuk mengekspresikan keyakinan sembari tetap aktif dalam politik dan masyarakat. Dengan kata lain, demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menghargai perbedaan, termasuk perbedaan berbasis keyakinan agama.

Representasi Muslimah dalam Politik

Partisipasi Muslimah dalam demokrasi tidak sekadar hadir dalam kotak suara, tetapi juga dalam struktur pengambilan keputusan. Di Indonesia, keterwakilan perempuan di parlemen telah diatur melalui kebijakan afirmasi, yakni kuota 30 persen bagi calon legislatif perempuan.[2] Kebijakan ini penting sebagai pintu masuk, tetapi tentu tidak boleh berhenti pada angka kuantitatif semata.

Kehadiran Muslimah dalam politik harus disertai kualitas kepemimpinan, integritas, dan kemampuan menyuarakan kepentingan rakyat, khususnya kelompok perempuan dan anak yang sering kali terabaikan dalam kebijakan publik. Dengan begitu, demokrasi tidak hanya menghadirkan kesetaraan formal, tetapi juga substansial.

Demokrasi sebagai Ruang Dakwah Sosial

Bagi Muslimah, demokrasi dapat dilihat bukan sekadar sistem politik, melainkan ruang dakwah sosial. Melalui partisipasi dalam organisasi masyarakat, komunitas lokal, maupun lembaga formal, Muslimah dapat menyampaikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Misalnya, memperjuangkan kebijakan yang ramah keluarga, advokasi terhadap pendidikan perempuan, serta perlindungan terhadap pekerja perempuan.

Dalam konteks ini, demokrasi justru memberikan peluang untuk menghadirkan nilai-nilai Islam dalam tata kelola masyarakat secara konstruktif, bukan dengan paksaan, melainkan melalui mekanisme dialog, musyawarah, dan kesepakatan bersama. Hal ini sejalan dengan prinsip syura dalam Islam, yang menekankan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan.

Pendidikan Politik bagi Muslimah

Salah satu tantangan terbesar bagi Muslimah dalam demokrasi adalah rendahnya literasi politik. Banyak Muslimah yang aktif dalam kehidupan sosial-keagamaan, tetapi masih enggan atau ragu untuk terjun langsung dalam politik praktis. Hal ini bisa disebabkan oleh minimnya pendidikan politik yang berpihak pada perempuan, serta stigma bahwa politik adalah dunia yang “kotor” dan tidak sesuai dengan peran perempuan.

Oleh karena itu, diperlukan upaya serius untuk meningkatkan pendidikan politik bagi Muslimah, baik melalui lembaga pendidikan formal, organisasi masyarakat Islam, maupun komunitas lokal. Dengan pemahaman politik yang baik, Muslimah dapat terlibat secara lebih kritis dan berdaya, tanpa mudah terjebak dalam politik identitas yang sempit atau manipulasi elite.

Penutup

Muslimah dan demokrasi bukanlah dua hal yang bertentangan. Justru, kehadiran Muslimah dalam demokrasi menjadi kunci untuk menghadirkan sistem politik yang lebih adil, inklusif, dan berkeadaban. Identitas keislaman tidak perlu menjadi penghalang, melainkan sumber kekuatan moral yang memperkaya praktik demokrasi.

Partisipasi Muslimah dalam demokrasi harus dipandang sebagai amanah, baik sebagai warga negara maupun sebagai bagian dari umat Islam yang membawa misi rahmat bagi seluruh alam. Dengan demikian, demokrasi di Indonesia tidak hanya menjadi wadah prosedural untuk memilih pemimpin, tetapi juga ruang substantif di mana nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan dapat diwujudkan.

 

Oleh : Febria Anisaningrum

Divisi Dakwah Digital dan Komunitas Majelis Tabligh dan Ketarjihan PDA Kota Malang

 

[1] Dr. H. Haidar Nashir, M.Si, Muhammadiyah a Reform Movement, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2015, hal. 235

[2] Dr. Nany Suryawati, SH., MH, Hak Asasi Politik Perempuan, Ideas Publishing, Gorontalo, 2020, hal. 107


Picture of admin

admin

Leave a Replay